WARISAN ISTRIKU (12)

 WARISAN ISTRIKU (12)

(Aku Tak Tahu Istriku Banyak Warisan Saat Kutalak Tiga Dirinya)
POV LARAS
"Pak, ke bandara ya," ucapku saat taksi online yang kupesan sudah datang.
"Siap, Mbak. Mari." Driver taksi online membuka pintu samping mobilnya dan mempersilahkan aku masuk.
Aku naik lalu duduk dengan perasaan lega. Akhirnya sebentar lagi aku akan pulang kampung juga sesuai rencana.
Setelah pamit dan melambaikan tangan pada bapak dan ibu RT, taksi online yang kutumpangi pun melaju pelan meninggalkan kompleks perumahan yang selama ini aku tinggali bersama Mas Danu.
Selamat tinggal pria pengkhianat! Aku akan pergi meninggalkalmu dan segera melupakanmu! Bisikku dalam hati.
"Mbak, coba lihat ke belakang, kayaknya ojol di belakang ngikutin kita ya?" tanya driver taksi tiba-tiba sembari mata si bapak melirik spion mobil dengan pandangan curiga.
Aku pun ikut melirik lalu menoleh ke belakang untuk memastikan apa benar yang dikatakan driver taksi itu.
Benar saja, di belakang kami terlihat sebuah armada ojek online berpenumpang seorang laki-laki tampak mengikuti arah mobil yang kunaiki.
Siapa ya? Dan mau apa? Batinku bertanya penasaran.
Kutajamkan arah pandanganku dan terkejut sendiri saat menyadari siapa laki-laki di belakang jok penumpang ojol itu.
Mas Danu! Ya, tidak salah lagi! Ternyata laki-laki mata perempuan dan mata duitan itu tak puas-puasnya hendak mengganggu hidupku.
Hmm, kukerjai saja sekalian!
"Pak, kebut aja lagi kalau memang kita dibuntuti. Masa kalah sama motor!" kataku memanasi driver taksi yang hanya tersenyum tipis mendengar ucapanku tetapi tak urung menaikkan laju kendaraan hingga ojol di belakang terlihat kesulitan mengejar.
Tak berapa lama taksi yang kunaiki pun memasuki gerbang masuk bandara lalu berhenti di halaman pintu masuk keberangkatan.
Kulihat Mas Danu yang menyamar menggunakan rambut palsu dan topi lebar menutup kepala, memberi kode pada driver ojol untuk mempercepat kendaraan.
Mas Danu pun buru-buru turun dari ojol lalu hendak mengejar ku tapi tentu saja terlambat, sebab aku tak seb0d0h itu untuk membiarkan diri diperdaya olehnya.
Dengan cepat aku masuk ke ruangan keberangkatan dan ikut antrean untuk check in dan mendapatkan boarding pass.
Melalui pintu kaca ruangan yang tembus pandang, aku bisa melihat akhirnya Mas Danu meremas rambut palsunya dengan geram dan menghentakkan kakinya dengan kesal ke aspal halaman depan bandara.
Aku tersenyum puas melihat Mas Danu yang urung mengikutiku menggunakan pesawat.
Rasain!
Ya, sudah dari awal aku menduga jika laki-laki itu pasti tidak akan membiarkanku pulang kampung sendirian. Ia tak akan puas dengan penolakan rujuk yang kuberikan.
Ia tahu aku berencana pulang menggunakan armada bus. Itu sebabnya aku mengubah rencana itu menjadi pulang menggunakan pesawat udara karena aku yakin Mas Danu pasti tak akan menyangka dan tak akan punya uang untuk membeli tiket pesawat.
Melihat Mas Danu gagal mengikutiku, aku pun tersenyum puas dan berjingkrak kegirangan hingga tanpa sadar tubuhku limbung dan akhirnya menabrak seorang pria muda yang tengah menyeret koper menuju pesawat yang sama.
Melihat pria muda itu menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, aku pun buru-buru mengucapkan permintaan maaf.
"Ma-maaf, saya tidak sengaja," ucapku sambil tertunduk malu.
"It's ok. Tapi jalan hati-hati ya, Mbak! Pakai mata jangan pakai perasaan. Untung cuma nabrak saya kalau nabrak motor gimana?" ketusnya sambil mendorong kembali kopernya meninggalkanku yang sesaat terdiam di tempat. Segitunya!
Aku bergegas meneruskan langkah kembali saat melihat orang-orang makin ramai memasuki pesawat. Takut ketinggalan.
Sampai di dalam aku segera mencari bangku dipandu pramugari yang mengarahkan tempat dudukku. Tapi sial, karena di deretan yang sama tampak pria yang tadi kutabrak ada di sana.
Pria itu pun tampak sedikit kaget saat aku duduk di sampingnya karena memang di situlah nomor kursiku. Namun, setelahnya ia mempersilahkan aku duduk.
"Jangan lupa pasang safety belt-nya. Supaya nggak oleng waktu pesawat jalan!" ujarnya.
"Gimana cara masangnya?" aku menimang benda di tanganku bingung.
"Baru sekali ini naik pesawat? Pantes! Nih, buka seperti ini dan kencangkan!" Ia mengajariku memasang benda di tanganku.
Akhirnya benda itu pun terpasang sempurna, meski tak lama kemudian pramugari menerangkan cara pemakaian benda itu dan hal lainnya.
"Kamu di Jakarta di mana? Kerja?" tanya lelaki itu saat pesawat telah terbang sempurna.
Aku menggelengkan kepala.
"Cuma transit aja, mau lanjut lagi ke Jawa," sahutku. "Kamu sendiri di Jakarta ngapain? Kerja juga?" sambungku basa-basi.
Ia mengangguk.
"Menghadiri sidang klien. Aku pengacara," sahutnya.
"Pengacara? Wah, keren. Bisa dong ya, saya minta bantuan kalau perlu."
"Bisa. Tapi nggak gratis ya. Saya bukan pengacara prodeo soalnya," sahutnya sambil tersenyum.
Melihat senyum yang bertengger di bibirnya, aku pun maklum jika lelaki itu hanya bercanda.
Begitulah obrolan kecil terjadi di antara kami berdua, sampai akhirnya pramugari pesawat mengumumkan bahwa tak lama lagi pesawat akan mendarat.
Aku yang teringat akan status hukum yang hingga saat ini masih sah sebagai istri Mas Danu, buru-buru meminta kartu nama lelaki itu.
Ya, siapa tahu nantinya aku butuh nasehat hukum atau pun bantuan hukum berkenaan dengan statusku yang masih istri sah Mas Danu, sementara aku sendiri berencana ingin segera menyudahinya, pada lelaki itu.
Lelaki itu memberikan kartu nama yang kuminta. Terpampang di sana nama lelaki itu : Dicky Prasetya, S.H, M.H dari kantor pengacara yang sama dengan nama lelaki itu.
Kutimang kartu nama itu lalu memasukkannya dengan hati-hati ke dalam tas tanganku.
Perasaanku mengatakan, tak lama lagi aku memang butuh bantuan seorang pengacara untuk mengamankan harta yang nantinya kumiliki dari tangan Mas Danu.
Lima menit kemudian, pesawat mulai melakukan gerakan landing dan begitu burung besi ini berhenti tepat di landasan, Dicky segera bersiap-siap turun, begitu pun aku yang mengekor di belakang, ikut antrean keluar dari pesawat.
"Oke, Laras saya duluan ya. Hubungi saja jika sewaktu-waktu kamu butuh bantuan hukum. Jangan khawatir untuk seorang teman akan ada diskon khusus dan tarif subsidi, oke?" ujarnya sambil tersenyum kecil.
Aku pun ikut tertawa dan mengamati sosoknya hingga menghilang di balik ruang pengambilan bagasi.
*****
Aku memandangi rumah sederhana bercat warna hijau yang terpampang di depan mata.
Rumah ibu dan bapak.
Ah, rasanya rindu sudah tak tertahankan lagi ingin segera bertemu dua orang terkasih itu. Segera aku berlari masuk ke dalam rumah begitu becak yang kunaiki tiba di depan bangunan lawas itu.
"Ibu! Bapak!" Aku menerobos masuk melalui pintu depan yang dibiarkan terbuka, membuat sosok tua yang sedang melipat pakaian di ruangan tengah menoleh dan terkejut saat melihatku.
"Laras, kamu sudah pulang, Nduk? Pak! Pakne! Ini Laras, Pak sudah pulang!" Ibu memelukku erat dengan penuh kerinduan lalu memanggil bapak yang sepertinya sedang berada di belakang.
Tak lama sosok bapak pun muncul dari dapur.
"Laras, kamu sudah pulang? Kok sendirian? Danu mana?" Bapak mem#lukku lalu mengamatiku dengan pandangan bertanya-tanya.
"Mas Danu ... nggak bisa ikut, Pak. Laras sendirian," ujarku sambil melepas pelukan bapak.
"Oh, tapi nggak ada apa-apa tho?" Bapak masih melanjutkan pertanyaannya.
Aku hanya menggelengkan kepala dengan ragu. Hati ini ingin menjelaskan perihal lelaki itu yang sudah menjatuhkan talak tiga padaku, tapi bi*ir rasanya masih enggan untuk bercerita.
Nantilah kalau sudah istirahat dan waktunya sudah tepat, aku pasti akan cerita juga.
"Ya, sudah Pak, biar Laras istirahat dulu. Nanti baru kita tanyakan soal Danu dan kita bicarakan soal uang ganti rugi yang kita terima dan lainnya," ujar ibu sambil membimbingku duduk.
Bapak hanya mengangguk.
*****
"Ras, seperti yang sudah bapak dan ibu bilang kemarin, kita sudah mendapatkan uang ganti rugi dari perusahaan yang mau membangun kilang minyak di sini, tapi syaratnya kita harus segera pergi dari rumah ini. Sebenarnya bapak dan ibu masih sangat kerasan tinggal di sini, tapi mau bagaimana lagi, orang-orag sudah pada setuju kalau di sini mau dibangun kilang minyak, sementara kalau bapak dan ibu saja yang keberatan kan tidak bisa.
Jadi, mulai besok pagi kita harus secepatnya meninggalkan kampung ini sebab batas waktu yang diberikan oleh pihak perusahaan juga sudah habis. Kamu lihat kan tadi, kampung sudah sepi. Tinggal keluarga kita saja yang belum pindah. Makanya kemarin bapak dan ibu nyuruh kamu ajak Danu, bapak mau minta tolong dicarikan rumah-rumah sederhana saja sama kebun untuk nanam sayuran, sisanya untuk kalian saja siapa tahu kalian mau beli rumah baru atau bikin usaha baru, tapi kok malah Danu-nya nggak ikut, kenapa? Apa kamu nggak cerita soal ini sama suamimu itu?" tanya bapak saat aku sudah istirahat dan rasa letih akibat perjalanan jauh tadi sudah tak lagi kurasakan.
Aku juga sudah mandi dan makan malam dan memang sudah berencana hendak menyampaikan perihal nasib rumah tanggaku bersama Mas Danu pada beliau berdua.

0 Komentar