Demi Ibu Kuceraikan Istriku (1)
Setelah mengambil.sebagain besar uang itu dan menyisakan hanya lima lembar uang berwarna merah di dalamnya, akhirnya amplop itu diserahkan kembali padaku.
"Ini buat istrimu!" ujar ibu sambil menjejalkan amplop itu ke tanganku.
"Istri itu orang lain yang kebetulan mendampingi kamu, Den! Kalau cocok dipertahankan. Kalau sudah nggak cocok, ya dibuang aja, cari yang baru! Nggak usah ribet. Perempuan banyak, mending uangmu kasih ke ibu aja. Ibu ini ibu kamu. Orang yang merawat kamu dari kecil. Ada bekas istri tapi nggak akan ada yang namanya bekas ibu. Ngerti kamu?" sambung beliau lagi dengan nada sinis yang sama.
Mendengar perkataan beliau, aku hanya tertunduk diam.
Ibu memang punya prinsip yang keras soal status istri, tapi aku tak bisa membantah itu meski tak sepenuhnya bisa membenarkan perkataan beliau itu.
"Zahra itu kebetulan saja hadir dalam hidupmu, sehingga menjadi urusanmu pula untuk memberinya makan.
Ya mau gimana lagi, namanya juga sudah kamu jadikan pendamping, nggak mungkin juga nggak dikasih makan. Tapi ya itu, nggak usah terlalu baik sama dia sebab, istri itu bisa jadi mantan sedangkan ibu tidak. Jadi kalau kamu punya harta lebih baiknya kamu atas namakan pada ibu atau adik-adikmu saja sebab kami ini yang punya hubungan darah sama kamu sedangkan istrimu itu tidak. Kamu mengerti itu?!"
Aku masih diam. Tak menjawab.
"Deni! Kamu dengar dan ngerti itu nggak?" sergah ibu lagi.
"Dengar, Bu dan paham," sahutku akhirnya sambil menganggukkan kepala.
Mendengar jawabanku, ibu tersenyum lebar.
"Bagus! Kamu memang anak ibu yang taat pada orang tua. Dengar ya, jangan sekali-kali pernah bersikap lemah di hadapan istrimu. Jangan sekali-kali kalah! Ibu nggak suka dan nggak akan tinggal diam kalau sampai kamu mau disetir sama istrimu! Enak saja si Zahra, sudah numpang, ngatur-ngatur suami pula!" tukas ibu lagi dengan sengit kemudian meninggalkanku sendirian dengan amplop gaji yang berhasil beliau rampas sebagian besar isinya dari tanganku.
******
"Mas, uang gajimu kok cuma segini?" Zahra menatapku tak mengerti saat melihat isi amplop yang kuserahkan lalu memperlihatkan lembaran uang yang barusan diambilnya dari dalam amplop itu padaku.
"Diambil ibu," sahutku singkat. Malas meladeni Zahra yang pasti akan kembali protes mengapa uang gaji selalu kusetorkan dulu pada ibu baru pada dirinya.
"Terus kamu kasihkan? Mas ini nih cuma tinggal lima ratus ribu rupiah lagi, terus gimana caranya mau beli beras, gula, minyak dan makan kita sebulan? Tolong dong, Mas jangan begini. Kamu harusnya sebelum ngasih ibu, kasih dulu ke aku baru kita rembugkan bersama berapa bagusnya ngasih ibu kamu. Kalau begini caranya aku yang susah mau baginya, Mas!" B1bir Zahra mengerucut, kesal.
Tapi aku tak peduli. Benar kata ibu, istri itu cuma numpang, ngapain mau ngatur-ngatur segala?
.png)
0 Komentar