Cerbung | Aku menunduk hormat dan melangkah pergi
“Apa pedulimu dengan hidupku, Viv? Sejak kapan kamu memiliki rasa empati?”
Aku terdiam, begitupun Reynan. Tak ada suara yang terdengar. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Bu Vivian kenapa kembali?” Salah satu OB itu menyapaku.
“Mau ambil alat pel.”
“Cangkirnya terjatuh, Bu?”
“Iya. Dibanting sama pak Reynan.”
“Benar kan, Bu. Dia pasti marah-marah. Ibu yang sabar ya?” Wanita separuh baya itu terdengar begitu empati sekali kepadaku.
“Iya.” Aku menyunggingkan senyum dan berlalu setelah mendapati apa yang aku butuhkan.
**
“Permisi, Pak!” Aku menunduk hormat ketika memasuki ruangan. Berjalan perlahan dan mendekati lantai kotor yang terkena bekas tumpahan kopi.
“Mau apa kamu?”
“Membersihkan tempat ini, Pak!”
Aku mengambil pecahan cangkir yang berserakan di segala penjuru.
“Keluar dari sini! Aku tak butuh bantuanmu.”
“Tapi, Pak!”
“Keluar dari sini atau ....”
“Permisi, Pak. Saya hendak membersihkan ruangan bapak.”
“Silahkan masuk, kerjakan tugasmu dengan cepat “ ucap Reynan menatap wanita paruh baya yang datang dengan membawa alat yang sama denganku.
“Dan kamu, Viv. Kembali ke meja mu. Jangan pernah menampakkan diri di depanku sampai besok pagi. Bagaimanapun caranya." Lelaki itu tampak mengatur nafasnya "Pergi sekarang!”
Aku menganut, perlahan pergi meninggalkan ruangan. Sungguh aneh lelaki itu!
Tak berapa lama, petugas bersih-bersih itupun keluar. Sedangkan aku yang menatap agenda Reynan hari ini, mendapati acara bertemu salah satu calon investor baru. Pak Haikal. Lengkapnya Haikal Sudrajat. Benarkah itu ia? Aku membuka profil lengkap beliau, tempat di mana ia membesarkan nama perusahaannya. PT yang sama. Memoriku memutar kejadian 5 tahun lalu.
Sebuah akad terdengar begitu lantang. Aku dipersunting oleh lelaki kaya raya tanpa cinta. Bahkan aku tak mengenal sedikitpun tentang ia. Dari situlah awal mula penderitaan ku.
Telepon di depanku berdering, kuangkat gagang tersebut dan menempelkan di daun telingaku.
“ Jika Pak Haikal datang, minta ia masuk ke ruanganku.”
“Baik, Pak!”
Tak menunggu lama, setelah panggilan itu terputus. Seorang lelaki berumuran seperti Reynan itu datang, memakai jas hitam dengan dasi merah terang, di belakangnya ada wanita cantik berpakaian minim, bibirnya merah menyala, dengan sapuan blush on warna merah muda di tulang pipinya.
Aku menarik nafas panjang, hampir 5 tahun aku melupakanmya. Kenapa harus kembali bertemu seperti ini?
Lelaki itu mengetuk pintu dua kali, dan mulai melangkah masuk. Aku menata nafas yang mulai berantakan. Dia tak kalah terkejutnya ketika melihatku, senyum tipis tersungging, dengan sorot mata tajam.
Lelaki yang suka main tangan itu, membuatku mentalku down, bahkan untuk sekian detik aku berpikir untuk kabur dari tempat ini. Namun, bayangan ibu dan Alisa lagi-lagi menguatkanku. Vivian harus kuat. Vivian harus bisa melawan apapun yang ada di depannya. Termasuk Haikal, laki-laki yang merendahkan seorang wanita sedemikian rendahnya. Bahkan menempatkan seorang Vivian sebagai keset tanpa guna.
Plak ...
Aku memegang pipiku yang terasa perih, bahkan aku yakin jari kasar lelaki itu memberikan noda merah di pipiku.
“Sakit, Vivian?”
Plak ...
Kembali ia menampar di pipi yang sama, hingga kurasakan pipiku begitu pedih, bahkan ada sedikit darah berada di sudut bibirku.
Air mataku luruh, aku tak mampu membendung pertahanan ku. Tangisku pecah, dan justru hal itulah yang membuat ia semakin membabi buta. Ia memiliki kelainan, dengan rasa puas jika menyakiti pasangan terlebih dulu.
Bayangan 5tahun silam kembali berputar di otakku begitu saja.
“Kamu disini, Viv?” tanya Haikal dengan tatapan sinis, bahkan senyum yang ia kembangkan terkesan begitu meremehkan.
“Tanpa saya menjawab, seharusnya anda sudah tahu jawabannya.”
Lelaki itu mendekat ke mejaku, menatap seluruh inci tubuhku, hingga pandangan kami saling bertemu satu sama lain. “Aku rindu denganmu, Sayang,” ucap lelaki tidak waras itu sambil menekan kedua pipiku, diangkatnya wajahku begitu kasar. Terasa menyakitkan.
“Selama 5tahun ini aku mencarimu, dan tidak tahunya takdir kembali mempertemukan. Kita itu berjodoh, Sayang,” ucap Haikal sambil menekan pipiku lebih kuat. Sebisa mungkin aku menahan, dan tak mengerang kesakitan. Aku yakin sakitnya belum sembuh, dia akan puas jika aku melakukan itu.
“Lepaskan aku!” ucapku sambil melepas tangan kekar itu.
“Pak Reynan memang pintar sekali mencari sekertaris. Aku yakin, apapun yang dibahas oleh bos mu nantinya, aku akan menyetujui, bekerja sama denganmu begitulah membahagiakan.”
Lelaki itu melepas tangannya dengan tertawa yang mengembang, tawa sadis yang jujur membuat tubuhku gemetaran. Kembali mengingat bagaimana Haikal menyiksaku, dia tak segan menampar, memukul, bahkan menyulut ujung rokok yang menyala ke tubuhku, dan saat aku mengaduh kesakitan dia akan tertawa puas.
“Pak Haikal, anda sudah datang?”
Suara dari balik pintu itu membuatku terkaget. Reynan datang dengan mata berbinar menyambut tamunya.
“Baru saja, Pak!’
Bos arogan itu sedikit melirik ke arahku. “Apa sekertaris ku tak mempersilahkan bapak masuk?”
“Tidak, tidak, saya hanya sedikit berbincang dengan sekertaris bapak. Saya sedikit mengenal ia.”
“Ayo, Pak, silahkan masuk.”
Reynan kembali masuk ke ruangannya terlebih dulu, sedangkan Haikal kembali menatapku.
“Aku akan membawamu kembali kepadaku, Viv! Tunggulah, Sayang!”
Lelaki itu berlalu dari hadapku, sedangkan sekertaris di belakangnya hanya mengekori tanpa berkomentar sedikitpun.
Jantungku berdegup lebih kencang. Apakah ini nyata? Kenapa semesta seolah tak memberiku kesempatan untuk bahagia?
.png)
0 Komentar