AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (16)
"Mama, Mama mau ke mana?"
Bangun tidur, Via bertanya sambil mengucek mata yang terlihat kuyu. Mungkin masih mengantuk sebab semalam memang sedikit gelisah dalam tidurnya.
"Mama mau pergi sebentar. Via tinggal sama nenek dulu bisa?" tanyaku lembut sembari mendekatinya lalu mengusap puncak kepalanya pelan.
"Tapi jangan lama-lama ya, Ma. Soalnya kepala Via rasanya sakit," sahut putri kecilku itu tiba-tiba sambil memijit pelipisnya.
Aku merasa terkejut lalu sontak memegang kening gadis itu. Baru kusadari teraba panas memang. Ah, ada apa dengan putri kecilku ini?
Wajahnya juga terlihat kuyu dan pucat. Di beberapa bagian tubuhnya terlihat bintik kemerahan yang samar.
Sambil menggendongnya bergegas aku keluar kamar lalu mencari ibu yang ternyata sedang bersama bapak dan Andre sarapan di meja makan.
"Bu, Via katanya sakit kepala. Badannya juga merah-merah. Kenapa ya?" tanyaku cemas.
"Coba ibu lihat. Jangan-jangan demam berdarah."
"Iya. Sekarang lagi musim soalnya." Bapak menimpali.
Ibu dan Bapak kemudian bangkit lalu memeriksa tanda kemerahan yang ada di sela-sela siku tangan dan kaki Via. Beliau berdua juga meraba kening gadis kecil itu.
"Panas, An. Kita bawa ke dokter aja ya. Ibu takut benaran demam berdarah soalnya"
"Iya. Harus secepatnya ditangani dokter ini," ujar Bapak pula.
Mendengar itu batinku menjadi sedikit resah.
"Gini aja, Bu, Pak biar Mbak Ana ke pengadilan agama sebentar. Kita bertiga bawa Via ke rumah sakit. Nanti kalau sudah selesai urusannya, Mbak Ana 'kan bisa langsung menyusul ke RS," usul Andre sambil memandang kami bertiga.
Mendengar itu, Bapak tersenyum. "Iya, boleh juga begitu. Ayo sekarang kita bawa Via ke rumah sakit."
Kedua orang tua dan adikku kemudian bergegas membawa Via dengan roda empat. Sedangkan aku langsung buru-buru mengeluarkan sepeda motorku ke luar garasi, bersiap pergi ke tempat tujuan sekarang juga.
Sebenarnya aku tak tega dan ingin mendampingi putriku sama-sama ke rumah sakit, akan tetapi urusan di pengadilan juga rasanya sudah tak sabar lagi ingin segera kuselesaikan mengingat hari ini adalah hari terakhir kerja minggu ini. Besok libur dan kantor Pengadilan Agama tutup.
Maka aku pun terpaksa memilih opsi ini. Kalau permohonan ini cepat didaftarkan, tentu saja akan lebih cepat lagi ditangani oleh petugas dan cepat pula dilakukan pemeriksaan perkara.
Rasanya sudah tak sabar ingin segera lepas dari perkawinan yang salah bersama Mas Arya.
Kupndangi mobil SUV yang membawa Via dan keluargaku menghilang di perempatan jalan depan sana lalu segera sesudahnya mengendarai roda duaku menuju tempat yang hendak kutuju.
Ahamdulillah karena berkas-berkas yang kubawa sudah lengkap, maka setelah mentransfer biaya perkara ke rekening yang diperintahkan oleh petugas, permohonan gugatanku pun diterima, sehingga aku pun bisa segera pergi menuju RS di mana Via dibawa.
Sempat terjadi tanya jawab yang cukup menyita waktu saat petugas administrasi menanyakan alasan-alasan gugatan perceraian yang kuajukan.
Petugas sempat keheranan karena suami yang kugugat cerai ternyata berstatus sebagai pegawai negeri sipil.
Petugas tersebut menyayangkan dengan mengatakan sayang bercerai sementara suami telah memiliki pekerjaan tetap dan berprestise di mata masyarakat, akan tetapi saat kujelaskan bahwa sisa gaji Mas Arya tak lagi mencukupi sementara ia memiliki dua orang istri, maka petugas tersebut pun menjadi maklum dan paham.
Keluar dari gedung pengadilan, aku pun langsung menghubungi Andre.
[Ndre, Mbak sudah selesai masukin gugatan. Sekarang udah keluar gedung pengadilan. Kamu di mana? Gimana keadaan Via?] tanyaku begitu telepon tersambung.
[Aku bawa Via ke rumah sakit BERKAH, Mbak. Di sini pelayanannya lebih bagus dari rumah sakit yang lain. Dokternya pun ramah-tamah. Via udah ditangani. Sekarang dirawat karena positif DBD. Tapi karena kita cepat bawa ke RS, insyaallah kondisi Via cukup stabil. Dokternya juga kenal sama Via, katanya temen satu sekolah Mbak dulu? Dokter Wisnu namanya,] beritahu Andre di telepon.
Mendengar kabar dari adikku itu, aku pun tersenyum lega. Syukurlah, Via sudah tertangani dengan baik dan dirawat di salah satu rumah sakit terbaik di kota ini meskipun terhitung baru berdiri. Semoga secepatnya putriku itu sehat kembali seperti sedia kala.
Namun, dadaku juga tiba-tiba berdebar kencang saat mendengar nama dokter yang menangani Via disebut.
dr..Wisnu? Tak kusangka akan bertemu lagi dengan lelaki itu, saat tak sengaja Via sakit dan dibawa ke RS untuk diobati.
[Iya, dokter Wisnu, teman SMA Mbak dulu, mbak kenal kok, Ndre. Ya udah, mbak ke sana sekarang ya.]
Lalu setelah mematikan sambungan, aku pun segera menuju rumah sakit.
*****
"Via, gimana? Kepalanya masih pusing? Sabar ya, Sayang. Banyak-banyak makan ya, biar cepat sembuh," ujar Wisnu sambil mem*elai lembut kepala Via lalu meminta ibu kembali menyuapkan bubur di tangannya ke mulut putri kecilku itu.
Via hanya mengangguk pelan lalu menatap sendu. Mungkin badannya masih tak enak sehingga terlihat tak bersemangat. Meski demikian kulihat kondisinya cukup baik, tidak gelisah seperti malam tadi.
Setelah menyemangati pasiennya, lelaki itu kemudian membalikkan punggungnya hingga saat ini ia dapat melihatku yang baru saja tiba di kamar perawatan ini.
Melihatku datang, pria berjas putih itu tampak kaget.
"Ana? Kamu dari mana? Kok baru datang?" tanyanya keras saat melihatku masuk. Mungkin heran karena aku tak ikut mendampingi saat Via masuk RS tadi.
Ibu yang sedang menyuapi Via makan, dan bapak yang sedang menunggui di samping beliau pun ikut kaget dan heran. Mungkin terkejut melihatku dan Wisnu saling kenal.
Tapi haruskah kujawab pertanyaannya itu? Rasanya kok aku malu dan tak enak sendiri. Aku tak mau ia berpikiran macam-macam karena saat ini aku sedang punya masalah rumah tangga dengan Mas Arya.
Aku memilih tidak menjawab melainkan hanya tersenyum lalu balik bertanya.
"Gimana, Nu kondisi Via? Bisa ditangani?"
"Sejauh ini baik. Tapi siklus DBD ini seperti pelana kuda. Nanti ada fase demamnya menurun tapi saat itu sebenarnya justru fase kritis. Via harus tetap dirawat dan melewati masa kritisnya hingga dinyalakan boleh pulang nanti," sahut Wisnu menerangkan.
Aku manggut-manggut, mencoba memahami. Namun, sebenarnya belum paham juga. Tapi nantilah aku tanyakan itu lagi. Saat ini aku ingin me*eluk putriku karena rasa bersalah tak bisa ikut mendampinginya saat dibawa ke rumah sakit tadi.
Kudekati Via lalu mende*ap erat putri kecilku itu. Via balas meme*uk dan tersenyum lega.
Setelah puas me*eluk dan ibu pun mengatakan jika biar saja beliau yang tetap menyuapi makan Via, aku pun lalu mengikuti langkah Wisnu ke luar ruangan.
"Kira-kira berapa hari Via dirawat, Nu? Dan berapa hari menjelang masa kritisnya bisa dilewati?" tanyaku ingin tahu pada lelaki itu.
"Tergantung, An. Bisa tiga sampai tujuh hari sejak demam pertama. Aku akan berusaha memberikan yang terbaik pada Via, untuk itu kamu bantu doa ya, semoga putrimu selamat dan tidak apa-apa," sahutnya.
"Apa DBD itu bahaya, Nu?" tanyaku lagi, polos.
Sebenarnya aku cukup tahu jika penyakit ini termasuk penyakit berbahaya dan banyak memakan korban jiwa, meski demikian aku berharap mendapatkan jawaban yang bisa melegakan hatiku sebab jujur saat ini hatiku sedang merasa bimbang dan tak tenang.
Via sedang sakit saat pada waktu yang sama aku sedang mengalami masalah rumah tangga dengan sang papa.
"Doakan saja. Semoga Via bisa melewati masa-masa kritisnya. Oh ya, maaf kalau aku lancang bertanya yang bukan menjadi urusanku, An. Tapi aku benar-benar ingin tahu, apa benar kamu baru saja dari pengadilan agama tadi? Kalau aku boleh tahu, untuk apa?
Maaf, aku terpaksa menanyakan pada Andre, kamu sedang ada di mana hingga tak bisa mendampingi Via saat masuk rumah sakit ini tadi. Bukan apa-apa, karena bagiku ... kamu bukan orang lain lagi, An, kamu teman terdekatku, makanya aku ingin tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi? Kenapa kamu gak ada saat biasanya seorang ibu ada di sisi buah hatinya yang sedang sakit? Apa kamu ada masalah dengan Arya? Kalian ... berpisah?" tanya Wisnu tanpa kusangka-sangka sambil mata tajamnya menatapku dalam-dalam.
Di sana aku bisa melihat rasa ingin tahu bercampur rasa khawatir yang sangat. Membuatku hanya mampu menelan ludah, haruskan aku bicara jujur pada Wisnu bahwa aku sedang menggugat cerai Mas Arya?
Tapi apakah itu tidak membuatnya berpikiran macam-macam terhadapku? Karena bagaimanapun status janda cerai bukanlah status yang punya stigma baik di mata masyarakat?
Entahlah, tiba-tiba saja aku merasa buruk dan malu karena status yang sedang dan akan kusandang ini.
Aku tak mau Wisnu merasa prihatin dan mengasihaniku karena status ini.
.png)
0 Komentar